“Sedjarah Musik Bedjat” oleh Joss Wibisono

Saxofon jang mentjurigaken
Saxofon jang mentjurigaken

Larangan mendengarkan djenis musik tertentu ternjata bukan tjuma pengalaman kita di zaman Demokrasi Terpimpin dulu. Sekitar tiga dekade sebelumnja, di zaman Nazi, orang Djerman djuga sudah pernah mengalami larangan serupa (tentunja termasuk berbagai pembatasan lain). Persamaannja dengan pengalaman kita, menariknja lagi, ternjata tidak berhenti di sini sadja: pada masing2 zaman itu musik jang dilarang selalu diberi nama, djulukan jang djelas bersifat edjekan belaka. Seperti kita tahu, pada zaman Demokrasi Terpimpin musik jang dilarang disebut musik ngak-ngik-ngok, dan terwudjud pada kelompok Koes Bersaudara (kemudian terkenal sebagai Koes Plus) jang didjebloskan dalam pendjara karena berada di garis depan para pemusik à la Beatles, musik ngak-ngik-ngok itu. Di zaman Nazi musik jang dilarang dikutuk dengan djulukan entartete Musik (Musik Bedjat).

Kaum Nazi menggolongkan musik jang a-tonal (jaitu musik jang tidak taat kepada satu djenis tangga nada tertentu), musik jazz dan, di atas semuanja, musik karja komponis2 keturunan Jahudi ke dalam djenis Musik Bedjat ini. Inilah sebenarnja latar belakang pemberian djulukan itu: jang disebut musik jang baik dan benar, jaitu musik jang tidak bedjat, ternjata ditentukan oleh ras pentjiptanja, apakah dia keturunan Jahudi atau Arja. Kalau pentjiptanja keturunan Arja, demikian ideologi kaum Nazi, maka musiknja pasti musik baik dan benar; sedangkan kalau pentjiptanja seorang Jahudi maka musiknja pasti Musik Bedjat.

***

Setelah mengeluarkan djulukan Musik Bedjat itu, kaum Nazi merasa leluasa untuk melarangi segala matjam konser, pertundjukan, bahkan menghalangi karier banjak artis, komponis, ahli musik serta guru musik. Semula larangan itu hanja diterapkan di Djerman, tetapi begitu Hitler mengumbar nafsu ekspansionisnja dengan memprovinsikan negara2 lain, maka larangan itu djuga diberlakukan di berbagai propinsi termuda Djerman, jang sebenarnja adalah negara2 Eropa lain jang mereka duduki dan djadjah.

Di Belanda misalnja (salah satu provinsi termuda dengan ‘gubernur’ Arthur Seyss-Inquart), orkestra terkenal: Concertgebouworkest dilarang memainkan karja2 Gustav Mahler, padahal komponis Austria (jang memang keturunan Jahudi tapi sudah meninggalkan agama Jahudi dan beragama Katolik) ini sering untuk pertama kalinja mementaskan karja2 simfoninja di gedung konser jang letaknja di wilajah elit, Amsterdam selatan ini. Begitu eratnja hubungan Mahler dengan Concertgebouw, sampai2 pada tahun 1925 diselenggarakan Festival Mahler I. Karja2 komponis keturunan Jahudi lain jaitu Mendelssohn dan Hindemith bernasib serupa, dihapus dari repertoir salah satu orkestra terkenal di Eropa ini.

Lebih dari itu, dilangsungkanlah apa jang disebut arisering van het Concertgebouw (pengarjaan Concertgebouw). Semua karjawan Concertgebouw, dari atas sampai jang paling bawah diwadjibkan mengisi formulir pernjataan Arja (ariërverklaringen). Formulir A harus diisi oleh para keturunan Arja, sedangkan Formulir B diisi oleh keturunan Jahudi dan mereka jang berbau Jahudi, misalnja bukan Jahudi tapi kawin dengan Jahudi. Dari sini diketahui bahwa pada awal tahun 1941, Concertgebouw memiliki 16 orang (sekitar sepertiga) pemain orkestra jang tidak bersih lingkungan, mereka keturunan Jahudi atau berbau Jahudi. 13 orang dideportasikan ke Kamp Konsentrasi Barneveld untuk kemudian ke Theresienstadt, kamp konsentrasi chusus seniman, jang berarti tidak djauh lagi dari pemusnahan di kamar gas jang terletak di Kamp Konsertrasi Auschwitz.

Gedung Concertgebouw anno 2004
Gedung Concertgebouw anno 2004

Pada musim panas 1942, segenap Concertgebouw sudah diarjakan. Jang paling merisaukan pihak pimpinan adalah mentjari pengganti para pemain keturunan Jahudi jang sudah disingkirkan itu. Pengarjaan ini tidak bisa tidak achirnja berdampak djuga pada mutu orkestra Concertgebouw. Kalau di lain pihak penguasa pendudukan Djerman masih djuga belum puas, maka itu karena alasan lain. Di semua pilar gedung Concertgebouw terukir nama berbagai komponis. Ternjata nama2 komponis Jahudi masih tertera, satu “noda” jang menjilaukan mata biru kaum Arja, penguasa pendudukan Djerman. Ini djelas harus dihapus. Maka, sesuai dengan hasil rapat Dewan Penjantun pada tanggal 13 Oktober 1942, disingkirkanlah nama2 Mahler, Mendelssohn dan Rubinstein dari pilar2 gedung ini. Tapi, bagaimana dengan nama Hiller? Hiller jang manakah dia? Adam Hiller jang Arja atau Ferdinand von Hiller jang keturunan Jahudi?

Begitulah, berbagai artis, komponis, ahli musik dan guru musik porak poranda kehidupan mereka. Ada jang melarikan diri ke negara lain, tetapi djelas, banjak pula jang mati di kamar gas, hanja karena mereka keturunan Jahudi.

Di antara mereka jang mengasingkan diri terdapat Berthold Goldschmidt dengan operanja Der Gewaltige Hahnrei (kira2 berarti Suami Tertipu jang Djempolan), tjiptaan tahun 1930. Untuk pertama kalinja opera ini dipanggungkan pada bulan Februari 1932 di Mannheim. Rentjana pementasan berikutnja, di Berlin pada tahun 1933, dibatalkan, karena komponisnja keturunan Jahudi. Opera ini dengan begitu termasuk pada djenis Musik Sesat. Kini, Der Gewaltige Hahnrei mulai ditemukan kembali dan mendjadi repertoir baru beberapa gedung opera besar di Eropa. Untunglah Bertold Goldschmidt berhasil menjelamatkan diri dari tjengkeraman Nazi dengan mengungsi ke Inggris. Tapi, ja begitulah: kariernja sebagai komponis hantjur, padahal ia begitu berbakat untuk mendjadi besar, seperti Richard Wagner atau Richard Strauß. Ketika tahun lalu meninggal dunia dalam usia 96 tahun Goldschmidt hanja sempat mentjipta dua opera: Der Gewaltige Hahnrei dan Beatrice Cenci.

Jang paling menondjol di antara mereka jang mati di kamar gas adalah Viktor Ullmann, pentjipta opera kamar Der Kaiser von Atlantis. Opera ini ditjiptakannja di Kamp Konsentrasi Theresienstadt, sebuah kamp model jang letaknja tidak djauh dari Praha. Di Theresienstadt itu, atau Terezin dalam bahasa Tjeko, Nazi mengumpulkan para seniman untuk dipamerkan kepada dunia internasional bahwa jang disebut kamp konsentrasi itu baik adanja. Bahkan Nazi sempat membuat film propaganda tentang Theresienstadt jang mengesankan se-olah2 kamp ini adalah kota Jahudi (padahal keturunan Jahudi tidak pernah hidup menjendiri, mereka sudah terintegrasi ke dalam masjarakat setempat) dan se-olah2 penduduknja hidup aman tenteram (padahal Theresienstadt adalah kamp konsentrasi). Harus diakui dibandingkan dengan kamp2 lain, Theresienstadt termasuk lumajan. Tjuma begitulah, sementara para penghuni Theresienstadt sibuk menggubah musik, bermain biola, melukis atau berpuisi, bahkan tampil dalam konser, sesama penghuni kamp lainnja diangkut ke kamar gas di Kamp Konsentrasi Auschwitz.

Opera Der Kaiser von Atlantis berkisah tentang seorang Kaisar jang kedjam, begitu kedjamnja, sampai2 panglima angkatan bersendjatanja jaitu Kematian (Der Tod) mendjadi muak. Alkisah, suatu ketika sang Kaisar mengumumkan perang massal, jang oleh Kematian serta merta dianggap sangat keterlaluan. Ia mogok, menolak melaksanakan tugas utamanja: mematikan siapa sadja. Ketika perang massal berlangsung, dan semua orang saling membunuh, ternjata tidak satu pun menemui adjal, walau pun darah sudah membandjir ke mana2. Ini terdjadi karena itu tadi: sang Kematian mogok kerdja. Muntjullah chaos jang tidak terbajangkan lagi. Kekaisaran terantjam ambruk dalam anarki dan darah. Sang Kaisar menghampiri Kematian, ber-iba2 kepadanja supaja berhenti mogok sadja. Ketika Kematian menghentikan pemogokannja, maka korban pertamanja adalah Sang Kaisar itu sendiri.

Theresienstadt musim gugur 1944, Viktor Ullmann dan dirigen Rafael Schächter bekerdja keras mempersiapkan pementasan pertama opera jang libretto, sjairnja, ditulis oleh penjair muda belia Peter Kien. Tapi upaja mereka sia2 sadja karena beberapa hari sebelum premierenja, tepatnja tanggal 16 Oktober 1944, Viktor Ullmann, Rafael Schächter, bersama sebagian besar penjanji jang akan tampil, termasuk Peter Kien jang berusia 22 tahun, diangkut ke kamar gas di kamp konsentrasi Auschwitz. Nazi sudah di ambang kekalahan, wilajahnja sudah banjak jang djatuh ke tangan sekutu. Hitler marah besar, dan untuk melampiaskan amarahnja ini diperintahkannja pemusnahan makin banjak lagi warga berbagai kamp konsentrasi, jang sementara itu sudah bukan hanja keturunan Jahudi, tetapi djuga kaum Sinti dan Roma, homosexual, komunis serta kalangan lain jang dianggap Hitler sebagai Untermensch, belum lagi manusia. Dilaporkan bahwa kamar gas dan krematorium Kamp Auschwitz sampai harus bekerdja 24 djam sehari.

Pintu gerbang Theresienstadt
Pintu gerbang Theresienstadt

Pada saat2 terachir di tengah kekatjauan sekitar 18.500 orang jang diberangkatkan dengan paksa ke tempat pemusnahan itu, Viktor Ullmann berubah pendirian. Naskah Der Kaiser von Atlantis dan beberapa komposisinja jang lain tidak djadi dibawanja ke Auschwitz, melainkan diserahkannja kepada salah seorang temannja, dengan pesan supaja kalau ia tidak kembali naskah itu diserahkan kepada H.G. Adler, sahabat karibnja. Selesai perang Adler jang berhasil selamat dari pembantaian Nazi, gagal mejakinkan beberapa gedung opera Djerman supaja mementaskan opera ini. Ia lalu berimigrasi ke Inggris. Alhasil Der Kaiser von Atlantis tidak pernah dipentaskan lagi, sampai achirnja dilupakan orang. Untung sadja partitur opera itu tidak sampai hilang lenjap.

Pementasan Der Kaiser von Atlantis
Pementasan Der Kaiser von Atlantis

Adalah dirigen Inggris Kerry Woodward jang setjara tidak sengadja menemukan kembali naskah opera ini pada tahun 1972, ketika ia dengan asjik mem-bongkar2 arsip keluarga Adler. Sambil merekonstruksi kembali opera itu, karena ternjata ada satu halaman jang hilang, Woodward mendesak berbagai gedung opera Djerman supaja bersedia mementaskannja. Kembali, tidak satu pun tertarik. Achirnja, pada tahun 1975 dalam festival seni musim semi, Het Holland Festival di Amsterdam, Der Kaiser von Atlantis dipanggungkan untuk pertama kalinja. Woodward mengaku sempat gemetaran hebat dan berdiri buku kuduknja ketika merekonstruksi opera ini. Libretto (sjair) opera ini diketik di balik formulir pendaftaran orang2 jang masuk Theresienstadt. Di situ tertjantum berbagai data, seperti nama dan tanggal lahir, dan, jang paling mentjekam, begitu Woodward, pada formulir itu djuga tertjantum tanggal saat orang2 ini diangkut ke Auschwitz, tempat mereka digas. Librettist atau penjairnja, Peter Kien, bekerdja di bagian administrasi, tidaklah mengherankan kalau ia menggunakan formulir itu untuk menulis sjair2nja.

Nasib sial djuga menimpa Ernst Krenek, padahal ia bukan keturunan Jahudi. Dari asal mereka di Tjeko, orang tua Krenek berimigrasi ke Austria, dan pemuda berambut pirang bermata biru ini (rambut dan mata seorang keturunan Arja) dibesarkan di alam kesenian Austria jang mentjapai puntjaknja pada periode interbellum (masa antara dua perang dunia). Krenek tampil sebagai seorang komponis, dirigen, pianis, pengarang; pendeknja dalam ukuran apa pun djelas Ernst Krenek ini luar biasa. Dalam dunia musik ia dikenal sebagai tokoh ultra-modernist dengan musik avant-garde ekspresionis jang tidak perduli lagi dengan tradisi bahwa sebuah gubahan musik harus taat pada satu tangga nada tertentu. Beberapa karja musiknja memang a-tonal, tidak taat kepada satu tangga nada tertentu. Ia djuga termasuk perintis musik 12 not, aliran ini menolak musik tradisional jang hanja mengenal delapan (oktaf) not pada satu tangga nada. Djelas inilah jang oleh kaum Nazi disebut sebagai Musik Bedjat tadi.

Tetapi kaum Nazi baru mendapat kesempatan menggebuk Krenek ketika opera pertamanja dipentaskan. Opera pertamanja jang begitu sukses, Jonny Spielt Auf menampilkan seorang kulit hitam (batja: bukan kulit putih Arja) sebagai salah satu tokoh utamanja. Dan inilah opera jazz pertama. Kaum Nazi berdemonstrasi besar2an ketika Jonny Spielt Auf dipanggungkan di Wina pada tanggal 13 Djanuari 1928. “Gedung Teater Kita Dikotori oleh Pertundjukan Jahudi-Negro,” begitu tertera dalam salah satu spanduk di depan gedung Wiener Staatsoper. Sedjak itu, Krenek mulai didjauhi orang. Namanja tidak dikenal lagi. Tahun 1938 Hitler menginvasi Austria, lalu diumumkanlah integrasi, der Anschluß, negeri ini ke dalam Djerman Rajanja. Pada tahun itu djuga bergegaslah Ernst Krenek ke pengasingan di Amerika Serikat, memulai hidup baru jang ternjata djuga tidak gampang.

Fasisme Hitler, tak pelak lagi, djuga memporakporandakan sedjarah musik Djerman. Kalau ditanja siapa sebenarnja komponis opera Djerman sesudah Richard Wagner (komponis opera Djerman jang sangat kontroversial karena termasuk kalangan anti semit tetapi komponis romantik terkenal dari abad 19, mentjiptakan 13 opera, jang terkenal misalnja Der Fliegende Holländer dan opera siklus Der Ring des Nibelungen), maka orang Djerman tidak tahu lagi djawabannja. Ada jang bilang Richard Strauß jang menggubah 15 opera, termasuk jang ternama jaitu Salome dan Elektra; tapi ada jang bilang Kurt Weill (jang antara lain mentjiptakan Die Dreigroschenoper dan Aufstieg und Fall der Stadt Mahagonny atas libretto karja Bertolt Brecht), kemudian ada pula jang datang dengan nama lain lagi. Ini semua adalah bukti bahwa betapa tidak djelas lagi sedjarah musik Djerman setelah Hitler berkuasa. Pajahnja lagi, 50 tahun setelah hantjurnja Nazi masih sulit djuga untuk menulis sedjarah opera Djerman, karena begitu efektifnja Hitler melenjapkan komponis opera jang kebetulan tjuma keturunan Jahudi. Tidak ada jang persis tahu, siapa sadja komponis (keturunan Jahudi) jang pernah menggubah berbagai karja musik, termasuk opera, dan di mana pula karja2 itu tersimpan.

***

Sedjarah, begitu sering disebut, ditulis oleh mereka jang menang dan karena itu berkuasa. Mereka jang kalah, walau pun sebenarnja pernah membuat sedjarah, pasti akan tersingkir dari sedjarah karja sang pemenang itu. Sedjarah musik Djerman djuga tidak luput dari perangkap ini.

Dengan mengganjang para komponis dan pemusik keturunan Jahudi maka kalangan Nazi berhasil dalam menulis buku sedjarah musik Djerman jang baru. Di lain pihak para komponis dan pemusik Jahudi jang dilenjapkan itu sendiri sebenarnja tetap merupakan bagian sedjarah musik Djerman, walau pun kalangan Nazi memasang benteng ideologi untuk mengharamkan mereka. Tetapi akibatnja ketika sudah insjaf, orang Djerman kini masih garuk kepala dan angkat bahu ketika harus menulis kembali sedjarah musik mereka sendiri. Bagaimana pun djuga, walau pun musik mereka pernah dianggap bedjat, karja2 itu tetap merupakan bagian sedjarah musik Djerman. Sedjarah tidak bisa berbuta mata dan bersikap seperti penguasa atau mereka jang menang jang kemudian menulis sedjarah sendiri dan melenjapkan (batja: membunuh untuk kedua kalinja) para pelaku sedjarah itu. Bukankah tugas utama sedjarah adalah merekam dan mendjelaskan?

Pentas Perdana Porgy and Bess
Pentas Perdana Porgy and Bess

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa kekuasaan, terutama kekuasaan jang se-wenang2, djelas adalah biang keladi di balik terbuang pertjumanja usia produktif seseorang jang begitu berbakat. Bajangkan sadja kalau misalnja Nazi tidak pernah berkuasa, tidak ada periode fasisme di Djerman, pasti orang2 seperti Goldschmidt dan Krenek bisa terus berkarja. Wadjah dunia musik dan opera pasti djuga lain lagi. Tapi Nazi sempat berkuasa, sehingga orang2 seperti Ullmann bukan sadja mati dalam kamp konsentrasi, tetapi lebih menjedihkan lagi, tidak ada jang tahu persis apa sadja jang pernah ditjiptakannja, ketjuali opera kamar Der Kaiser von Atlantis tadi dan sekitar 33 komposisi lainnja, termasuk opera pertamanja Der Sturz des Antichrist (Djatuhnja Antikristus) tjiptaan tahun 1935 jang baru dipentaskan untuk pertama kalinja tahun 1995 di Bielefeld. Kekuasaan, tak pelak lagi, djuga berkuasa menentukan sedjarah sebagai ingatan kolektif masjarakat.

Kini, 50 tahun memang telah berlalu, tapi orang tidak akan pernah berniat mengubur ingatan mereka tentang ulah Nazi. Sebaliknja, orang sekarang terus menggali, membuka kuburan Nazi, berupaja menemukan kembali apa2 jang dulu pernah dikuburkan oleh Nazi dari ingatan orang. Selain itu, tidak sedikit pula kalangan jang terus ber-tanja2, walau pun Nazi itu sudah 50 tahun mendjadi sedjarah, telah mendjadi sedjarah pulakah metodanja?

Amsterdam kampung Jordaan, musim semi 1996

Rudjukan

1. Claudia Albert, “Opernkomponisten im Exil”, dalam Udo Bermbach dan Wulf Konold (eds.) Gesungene Welten, Aspekte der Oper. Berlin: Dieter Reimer Verlag 1992; ISBN 3-496-00448-7.

2. Joza Karas, Music in Terezin, Stuyvesant, New York: Pendragon Press 1990; ISBN 0 918728-37-7.

3. Pauline Micheels, Muziek in de Schaduw van het Derde Rijk, Zutphen: Walburg Pers 1993; ISBN 90-6011-861-8.

4. Michael Walter, Hitler in der Oper: Deutches Musikleben 1919-1945, Stuttgart: Verlag J.B. Metzler 1995; ISBN 3-476-01323-5.

Postscriptum, Djuni 2001

Ditulis pada tahun 1996, esei di atas sebenarnja merupakan sebuah gugatan terhadap orde bau, walau pun tidak satu kali pun nama rezim teror itu disebut! Betapa gelapnja, betapa tidak lengkapnja dan betapa sepihaknja sedjarah jang ditjiptakan, diakui dan diadjarkan oleh orde baunja engkong harto. Tentu sadja dalam tulisan di atas sedjarah jang dimaksud lebih terpusat pada sedjarah seni dan sastra Indonesia. Betapa tidak? Bagi generasi saja jang rata2 baru sadar politik pada tahun 1980an, dominasi kalangan kanan dalam segala aspek kehidupan, djadi termasuk kehidupan seni dan sastra, bukan sadja membutakan, memekakkan, menjesakkan, dan memuakkan, tetapi terutama djuga sangat membodohkan.

Anehnja, paling sedikit ini tanggapan saja waktu itu, dua media massa Indonesia menolak tulisan di atas bukanlah karena kritik terselubungnja terhadap politik seni dan sastra orde bau. Kedua media itu menolaknja karena, dan ini saja ketahui setjara tidak langsung, tulisan di atas dinilai membitjarakan penderitaan orang Jahudi selama Perang Dunia Kedua. Media massa Indonesia tampak sangat takut dianggap memusuhi kalangan Islam. Dan bukankah memuat tulisan jang setjara pandjang lebar menguraikan penderitaan orang Jahudi semasa Perang Dunia Kedua bisa dianggap memusuhi Islam? Apalagi karena waktu itu koran Kompas (tulisan di atas tidak pernah saja kirim ke koran pagi ini) misalnja, harus membajar uang damai sangat banjak, ada jang bilang sampai mentjapai Rp. 1 miljar, kepada Achmad Sumargono jang memprotes salah satu tadjuk rentjana Kompas mengenai Islam fundamentalis di Aldjazair. Tentu sadja ketakutan ini menggelikan. Karena sebenarnja, sekali lagi, tulisan di atas lebih menggugat ke-sewenang2an kalangan kanan, ekstrim kanan mungkin, seperti orde bau itu, dan bukannja membela orang Jahudi. Lagi pula Jahudi jang mendjadi korban kalangan kanan bisa dengan mudah diganti oleh korban2 lain, seperti seniman dan sastrawan kiri di Indonesia, Palestina atau Jugoslavia (Serbia) jang menghadapi suasana jang kurang lebih identik.

Tanpa disadari, djuga paling sedikit waktu itu, dominasi kalangan kanan sudah begitu merasuk dalam darah daging kehidupan se-hari2, sehingga orang tidak lagi merasakannja sebagai sebuah kedjanggalan. Saja termasuk beruntung, karena sempat berkenalan, bersahabat dan berguru pada mereka jang melihat dominasi itu sebagai sesuatu jang tidak masuk akal. Ada satu kedjadian jang lebih landjut membuka mata saja terhadap tjara beroperasi orde bau.

Pada suatu hari di paruh kedua tahun 1980an, saja menghadiri sebuah diskusi tentang film Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Djakarta. Dalam diskusi itu, dosen saja, Arief Budiman, tampil sebagai salah satu pembitjara membahas sebuah disertasi jang baru sadja diluluskannja. Penulis disertasi, Krishna Sen, jang tidak hadir dalam diskusi itu, menganalisa film Indonesia dan Arief Budiman sebagai salah seorang pengudjinja menjatakan puas dengan disertasi itu, karena, kalau tidak salah, baginja karja ilmiah ini dengan objektif menggambarkan wadjah dunia film Indonesia. Belakangan disertasi Krishna Sen ini terbit sebagai buku dengan djudul Indonesian Cinema, Framing the New Order (London: Zed Books, 1994).

Kemudian tampillah seorang pembitjara jang dengan nada meng-gebu2 penuh amarah mentjela pendapat Arief Budiman. Ia tidak melihat nilai ilmiah disertasi ini, dan ia djuga tidak melihat bahwa disertasi ini objektif. Belakangan saja tahu tokoh ini adalah Misbach Yusa Biran, salah seorang tokoh perfilman Indonesia, suami bintang film Nani Wijaya jang pernah memerankan Ngasirah, ibunda R.A. Kartini, dalam film tentang pelopor kaum perempuan Indonesia ini. Dan semua orang djuga tahu, para insan film kebanjakan anggota Parfi, sebuah organisasi jang tidak djauh djaraknja dari Golkar. Misbach merasa bahwa disertasi Krishna Sen pitjisan belaka karena tidak benar2 membahas film Indonesia dalam arti film jang sebenarnja. Memang ada film2 jang sudah ditonton oleh Krishna Sen untuk kemudian dibahasnja, tetapi ada pula film jang hanja dibahas skenarionja, karena filmnja sendiri sudah tidak ada, sudah musnah. Dan film jang musnah atau tepatnja jang dimusnahkan itu adalah film2 karja sutradara jang beraliran kiri dan berafiliasi dengan Lekra. Bagaimana bisa membandingkan film2 jang sudah tidak ada dengan film2 jang masih ada? Begitu Misbach menggugat. Misbach berpendapat tidaklah tjukup kalau menganalisa film dari skenarionja sadja. Menurutnja, skenario dengan film sangatlah berbeda, apa jang ada di skenario bisa tidak muntjul dalam film, begitu pula sebaliknja, apa jang ada dalam film bisa tidak ada pada skenario. Djadi, Misbach Yusa Biran merasa bahwa studi jang dilakukan Krishna Sen itu tidak seimbang, karena tidak mungkin membandingkan satu film dengan skenario film lain. Oleh karena itu bagi Misbach disertasi Krishna Sen itu tidak bisa dipertanggung djawabkan setjara ilmiah.

Arief Budiman tidak terkesan dengan argumentasi Misbach, walau pun sepintas kedengarannja masuk akal djuga. Lagi pula apa sebenarnja urusan Misbach jang bukan akademikus terhadap sebuah karja akademis. Itu kan lebih merupakan urusan Arief Budiman jang akademikus dan, untungnja, pernah mendjadi anggota Badan Sensor Film. Tetapi di luar itu, pendirian Misbach Yusa Biran telah membuka mata saja pada praktek litjik dan rendah-murahan orde bau. Tampaknja, semua film karja sutradara kiri memang sudah dimusnahkan, sehingga bukan sadja Krishna Sen jang tidak bisa menelitinja (untunglah skenarionja masih ada), tetapi djuga tanpa disertasi itu, orang seperti saja dan banjak generasi mahasiswa tahun 1980an lain, tidak akan pernah tahu bahwa sebelum orde bau, dunia perfilman Indonesia lebih hidup dan lebih menarik karena masih ada peran para sutradara kiri. Sekelumit peristiwa ini boleh dikatakan termasuk dalam rangkaian peristiwa jang membuat orang makin mempertanjakan legitimasi orde bau.

Saja tidak tahu bagaimana persisnja pemusnahan film2 karja sutradara kiri itu berlangsung. Tetapi saja tidak akan heran kalau semuanja, seperti pengganjangan orang2 kiri lain, berlangsung dengan penuh kekerasan jang tidak akan pernah terbajangkan oleh orang2 beradab dan berakal sehat. Jang djelas, dengan mengadjukan keberatan, Misbach termasuk kalangan jang tidak mempertanjakan pemusnahan itu. Lebih parah lagi, ia tampak ingin melupakan sadja film2 itu, bahkan menganggap film2 tersebut tidak pernah ada, tidak pernah diproduksi. Di lain pihak, sebenarnja mudah sadja untuk menghindari keberatan Misbach, jaitu dengan meneliti sadja semua skenario film, baik karja sutradara orde bau, mau pun karja sutradara Lekra; djadi bukan meneliti filmnja, dan membandingkannja satu dengan jang lain. Tetapi dengan keberatannja itu djelas Misbach termasuk kalangan jang tidak setudju kalau film2 karja sutradara kiri digali, dipeladjari dan dianalisa. Baginja, sekali lagi, sebaiknja film2 itu dilupakan sadja, film2 itu sudah tidak ada, tidak perlu diganggu gugat lagi.

Pada titik ini saja mulai mengerti mengapa sedjarawan Prantjis pakar gerakan buruh Indonesia, mendiang Jacques Leclerc, berpendapat bahwa di Indonesia orang2 PKI dan kalangan kiri lainnja mati dibunuh sampai dua kali. Pembunuhan pertama dilakukan setjara harafiah dan itu terdjadi pada paruh kedua tahun 1960an, dengan korban tewas mentjapai setengah sampai satu djuta orang. Pembunuhan kedua terdjadi setjara kiasan, karena karja2 orang2 kiri, jaitu para seniman, sastrawan, komponis, sineas, wartawan, akademisi dan seterusnja jang dimusnahkan dan dilupakan sama sekali, dianggap tidak pernah ada. Pendapat Jacques Leclerc ini sempat mendjadi perdebatan nasional, kalau tidak salah di achir tahun 1970an, awal tahun 1980an. Waktu itu banjak tjendekiawan Indonesia jang marah dan tersinggung terhadap Jacques Leclerc, dan saja kira jang marah bukan tjendekiawan sadja, tetapi para pedjabatnja djuga. Sampai2 harian Kompas jang memulai perdebatan itu merasa perlu mendamaikan Jacques Leclerc dengan musuh2nja melalui pemuatan tulisan2 mereka.

Antonio Gramsci 1871-1937
Antonio Gramsci 1871-1937

Achirnja saja sampai di Belanda, untuk bekerdja dalam bidang jurnalistik radio jang di Indonesia zaman orde bau, masih dalam rangka penindasan dan ketidakadilan tadi, tidak pernah berkembang. Hobi musik dan olah vokal menghantar saja pada dua “kuil” musik ternama di Amsterdam, itulah Concertgebouw dan Stopera. Banjak, untuk tidak mengatakan sebagian besar, opera memang berkisah tentang penindasan dan ketidakadilan. Tetapi Fidelio (karja komponis Djerman Ludwig van Beethoven, 1770-1827) atau Tosca (karja komponis Italia Giacomo Puccini, 1858-1924) terasa masih terlalu djauh dan tidak memiliki persamaan dengan pengalaman Indonesia di bawah orde bau. Djawaban terhadap rasa penasaran tadi bukan saja peroleh dari opera2 klasik di atas, melainkan sedikit banjak dari sedjarah Concertgebouw dan chazanah opera2 moderen jang baru belakangan sadja terungkap keberadaan mereka. Nah, setelah menonton dan mendengarkan opera2 baru tadi, termasuk mempeladjari dan mendalami mereka, serta tidak ketinggalan membatja sedjarah Concertgebouw ketika Belanda diduduki Djerman, barulah saja sampai pada pengalaman2 jang mirip dengan kehidupan seni dan sastra Indonesia di zaman orde bau.

Speer memberi pendjelasan kepada Hitler soal Germania
Speer memberi pendjelasan kepada Hitler soal Germania

Muntjul sematjam herkenning, atau sematjam pengenalan terhadap situasi kesenian dan sastra Belanda serta Djerman semasa kekuasaan Nazi. Tak pelak lagi, banjak kemiripan antara harto orde bau dengan Hitler Dritte Reich. Tengok sadja klasifikasi A, B dan C terhadap kadar kearjaan seseorang, sesuatu jang mirip golongan A, B atau C jang ditjapkan Harto terhadap kalangan komunis dan simpatisan kiri lainnja. Hitler mentjiptakan pelbagai kamp konsentrasi dan Harto membuka pendjara pengasingan di Pulau Buru. Harto mentjaplok Timor Timur dan Hiler jang butuh Lebensraum menduduki Austria, Sudeten, Polandia, Norwegia, Denmark, Negeri Belanda, Belgia, Luxemburg dan (sebagian) Prantjis. Begitu pula dalam soal menjiapkan pengganti. Hitler sangat terpesona dengan seorang insinjur arsitek perkotaan, itulah Albert Speer jang ditugasinja merantjang Germania, ibukota Dritte Reich impiannja. Sedangkan Harto sangat terpesona dengan teknologi kapal terbang, maka ia mempersiapkan seorang insinjur pesawat mendjadi penggantinja. Seperti Mephistopheles jang merangkul Faust, Hitler merangkul Speer dan Harto memeluk Habibie (walau pun harus diakui, kepada teman2nja di Djerman Rudi Habibie patut berbangga karena berhasil menggubah variasi baru atas tema Faust-Mephistopheles dan Speer-Hitler). Di atas semuanja, djutaan orang Jahudi, homosexual, Sinti dan Roma (Djipsi), komunis dan kalangan jang dinilai Untermensch mati dibunuhi Hilter, begitu pula Harto jang mengganjang orang2 PKI dan simpatisan kiri lainnja.

Sedjak itu saja makin tertarik untuk mempeladjari Nazi, Hitler, terutama politik kebudajaan dan kesenian rezim teror ini, se-mata2 karena banjak sadja persamaannja dengan orde bau. Dan memang di Eropa, entah kenapa, pelbagai studi mengenai Nazisme dan Hitler tidak djuga berhenti, bahkan terus membandjir ketika semua itu sudah tamat 50 tahun silam. Esei di atas merupakan upaja pertama menuliskan hasil pengamatan saja terhadap persamaan2 antara orde bau dengan Dritte Reich. Dalam chazanah pustaka Indonesia upaja seperti ini njaris belum pernah dikerdjakan. Studi2 serius masih belum ada. Jang sedjauh ini berhasil saja temukan adalah disertasi David Bourchier, berdjudul Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia jang ditulisnja pada tahun 1996. Studi Bourchier pun sebenarnja tidak langsung menarik persamaan antara orde bau dengan Dritte Reich, melainkan mentjari unsur2 fasis totaliternja. Inilah anehnja. Sudah banjak sekali studi mengenai kiri dan komunisme di Indonesia, bahkan sudah terbit sampai tiga buku standar mengenai PKI, sementara PKInja sendiri sudah musnah. Tiga buku itu adalah karja-karja Ruth McVey (The Rise of Indonesian Communism), Rex Mortimer (Indonesian Communism under Sukarno) dan Olle Törnquist (Dilemmas of Third World Communism). Tetapi tidak ada satu studi pun mengenai kanan, atau studi jang melihat harto orde bau sebagai kanan konservatif reaksioner, padahal Harto sudah sempat berkuasa selama 32 tahun!

Satu2nja penulis Indonesia jang mulai meng-gali2 persamaan Harto dengan Hitler adalah almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya, sahabat jang sudah lama kenal dengan keluarga saja, bahkan sebelum saja lahir, karena ajah Romo Mangun pernah bertetangga dengan kakek saja. Tiga buku terachir beliau (Politik Hati Nurani, Menuju Indonesia Serba Baru dan Menuju Republik Indonesia Serikat) djuga berisi esei2 ringkas mengenai persamaan orde bau dengan Dritte Reich. Kami memang sering berdiskusi mengenai hal ini, dan saja ingat Romo Mangun agak tersinggung ketika saja dengan sangat nakal pernah menggoda beliau dengan provokasi bahwa geredja Katolik sebenarnja djuga ber-bau2 fasis karena Paus Pius XII tidak pernah setjara terbuka mengetjam Hitler (lihat Hitler’s Pope: The Secret History of Pius XII tulisan John Cornwell, New York: Viking, 1999).

Diskusi besar terachir di antara kami berdua sekitar paralel antara Hitler dengan Harto berlangsung di Oslo, awal Desember 1996, ketika setjara tak terduga saja bertemu beliau jang djuga datang ke ibukota Norwegia itu untuk menghadiri upatjara penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian kepada dua putra Timor Timur, Monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo dan José Ramos-Horta. Selama empat hari kami ber-sama2 mengelilingi djantung kota Oslo, bergegas dari satu pertemuan ke pertemuan lain, dari satu diskusi ke diskusi lain, dari pameran ke konser, ber-sama2 memanfaatkan kartu pers jang kebetulan saja miliki (batja: berKKN ketjil2an).

José Ramos-Horta dan Carlos Felipe Ximenes Belo menerima hadiah Nobel Perdamaian 1996
José Ramos-Horta dan Carlos Felipe Ximenes Belo menerima hadiah Nobel Perdamaian 1996

Satu hal jang saja ingat dari omong2 waktu itu adalah pengungkapan Romo Mangun mengenai pergeserannja. Semula beliau melihat bahwa asal-usul fasisme orde bau berada di zaman pendudukan Djepang, karena tjara Djepang mengorganisasikan pendudukannja atas Indonesia mirip dengan kekuasaan teror orde bau. Tetapi beliau kemudian melihat bahwa persamaan orde bau dengan Dritte Reich makin banjak djuga, dan itu kelihatannja lebih tjotjok. Menjesal djuga saja tidak bertanja bagaimana pergeseran ini bisa terdjadi, tetapi saja duga karena Romo Mangun lebih akrab dengan batjaan2 dalam bahasa Djerman katimbang bahasa Djepang. Apalagi beliau kan pernah mendjalani pendidikan arsitektur di Aachen.

Upaja Romo Y.B. Mangunwijaya dalam mempeladjari dan membandingkan metoda orde bau dan metoda Dritte Reich ini memang perlu dilandjutkan!

2 pemikiran pada ““Sedjarah Musik Bedjat” oleh Joss Wibisono

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.