“‘Mendengar’ Surga Sungsang” oleh Joss Wibisono

Inilah resensi pertama sebuwah novel jang pernah kutulis. Tentu sadja ini djuga novel pertama penulisnja. Versi lain resensi ini nongol di koran Suara Merdeka (dulu De Locomotief), edisi 30 Maret 2014, halaman 24 bawah. Klow mingsih ada azha kalangan jang gak betah batja tulisan dalem Edjaan Suwandi, dia bisa ngeklik ini untuk batja versi EYD-nja.

Artikelku wektu nongol di Suara Merdeka
Artikelku wektu nongol di Suara Merdeka

Membatja Surga Sungsang, novel perdana Triyanto Triwikromo, laksana mendengar sebuah karja musik serius dan besar — dipentaskan bersama oleh orkestra Barat, seperangkat gamelan (sléndro maupun pélog) dan, tak ketinggalan, sekelompok paduan suara besar. Dua hal begitu menondjol dalam Surga Sungsang sehingga kita terdorong mengkaitkannja dengan karja musik.

Pertama, bahasa Triyanto jang begitu liris. Memadu prosa dengan puisi, bahasa seperti ini memiliki metrum atau irama: unsur penting musik. Pembatja akan mudah terbawa oleh irama jang begitu adjeg karena, seperti suluk atau zikir, bahasa puitis Triyanto djuga memiliki hitungan tertentu.

Misalnja larik ini “Angin gelap bau kematian memang berembus sedjak sendja”. Hitungannja tampak pada kelompok dua kata jang diulang empat kali (atau empat kata jang diulang dua kali); bagian awal dan bagian achir berisi empat suku kata sedangkan bagian tengah enam dan lima suku kata. Pola ini adalah hitungan birama musik bersjair.

Kedua, Triyanto menggunakan tema jaitu kalimat jang di-ulang2. Ada tema pendek (“Apa jang disembunjikan oleh bangau2 dan pohon bakau?”); ada pula tema agak pandjang (“Akan tetapi Oktober jang kian panas dan ganas tetap sadja tak memiliki tjara lembut untuk memperkenalkan kematian pada Siti”). Bahkan djuga ada variasi atas tema tertentu (“Allah tidak pernah mengirim bentjana pada Djumat penuh bangkai ikan” ketika diulang berubah sedikit mendjadi “Allah djuga tidak mengirimkan bentjana pada Djumat penuh bangkai ular”).

Tiga tjontoh tema dan variasinja itu tjuma diulang sekali pada bagian lain, tapi kehadiran mereka langsung mengingatkan kita pada karja musik —suita, simfoni, atau rapsodi— karena memang musiklah jang pertama kali menggunakan tema.IMG_0169 Tentu sadja tema dalam musik adalah melodi tertentu jang diulang atau kembali muntjul pada bagian lain.

Djangan salah duga: tema tidak hanja dikenal pada musik Barat. Gamelan Djawa djuga memilikinja. Ini bisa dalam bentuk tembang pokok jang dibawakan oleh sindhèn (penjanji solo perempuan), atau senggakan jang dinjanjikan oleh para penggérong, paduan suara pria. Tembang pokok selalu diulang pada bait baru sjair tertentu, demikian pula senggakan jang sering kedengaran sebagai penggoda. Dan memang Surga Sungsang menghembuskan nafas Djawa, bukan hanja setting-nja (di satu titik Pantura), tetapi djuga falsafah Djawa jang bertebaran di sana sini.

Ketika masih menggarapnja, Triyanto berkabar ia merantjang novel ini sebagai pameran lukisan. Tjuma lukisan2 itu tidak punja nomer urut, hadirin jang datang untuk menonton bisa mulai pada lukisan terachir, atau lukisan di tengah. Tidak harus dari awal. Begitu pula novel ini. Setiap babnja merupakan tjerita sendiri2, sedikit banjak mandiri dari bab2 lain. Djadi pembatja memang tidak perlu mulai dari awal.

Sebenarnja chazanah musik dunia djuga mengenal suita “Картинки с выставки” (lafal: kartinky s vystavki artinja “Lukisan pada sebuah pameran”) karja komponis Rusia Modest Mussorgsky (1839-1881). Pada 1874 dia mentjiptakan karja untuk piano tunggal ini, berdasarkan pameran 10 lukisan karja perupa kenalannja. Beberapa komponis lain kemudian menggubahnja untuk orkestra penuh, jang terkenal adalah orkestrasi komponis Prantjis Maurice Ravel (1875-1937).

Irama dan tema ini menjebabkan Surga Sungsang lebih tepat disedjadjarkan dengan karja musik ketimbang pameran lukisan. Asosiasi dengan musik itu pasti djuga akan muntjul kalau kita menilik pelbagai bunji2an jang begitu hidup dalam penggambaran Triyanto. Kita bisa mendengar dengung lebah, tjeritjit bangau, atau babi hutan jang meng-uik2. Tak ketinggalan suara alam, seperti amarah ombak, hempasan badai, gesekan daun2 bakau, serta, sesekali, petir. Semua itu berkisar pada bunji2an, dan dalam keindahan sastra bunji itu adalah musik.

Sesungguhnja Triyanto djuga berkisah tentang objek2 untuk indra lain, baik indra penglihat (“tubuh Kufah menjala”, “tjahaja hidjau”) maupun indra pentjiuman (“harum mawar putih” dan “wangi dedaun pandan”). Tapi indra pendengaran serasa dimandjakan dengan porsi jang lebih banjak. Alhasil kesan mendengar musik tampil menonjol dalam novel pertama Triyanto ini.

IMG_0170Lalu musik apa jang kita dengar? Djawabannja akan diperoleh kalau kita tahu isi novel jang pada awalnja sudah terbit sebagai 13 tjerita pendek ini. Kisahnja berkisar pada upaja warga sebuah tandjung untuk bertahan dari tjaplokan seorang berduit dan berkuasa. Kisah klasik Orde Baru ini djuga dilengkapi dengan banjir darah, tjiri chas zaman itu, mulai 1965 sampai 1983 ketika kalangan bertato bergelimpangan di mana2 kehilangan njawa. Penuturan berlandjut ke zaman sekarang, tatkala orang begitu kesulitan meninggalkan budaja kekerasan jang sudah dibina di zaman bersimbah darah dulu.

Susana seperti ini mungkin bisa didjadikan musik dengan banjak disonan: suara2 jang tidak harmonis. Pada gamelan ini bisa ditjapai dengan menabuh serempak titi nada sléndro dan pélog, sesuatu jang sudah dilakukan oleh komponis dan pakar gamelan Rahayu Supanggah.

Jang istimewa: dalam novel ini Triyanto djuga menulis tentang pelaku kekerasan. Setelah Orba bubaran, publik selalu disuguhi kisah korban. Masuk akal sadja: selama tiga dekade terus di-tutup2i, nasib mereka achirnja terungkap pula. Tapi setelah 15 tahun pengungkapan para korban, tibalah saatnja untuk djuga mengungkap sisi lain mata uang jang sama: para pelaku. Dipelopori oleh Joshua Oppenheimer (dengan film dokumenter The Act of Killing), kini sudah waktunja mengungkap mengapa pelaku sampai begitu tega berbuat begitu keji. Dalam alur sastrawi memukau, Triyanto bertutur tentang bagaimana pembunuh beroperasi; mulai dari perintah sampai tindakan membunuh, termasuk semua keraguan dan gejolak nafsu melakukan pembunuhan itu. Tak ketinggalan pula tipu muslihatnja.

Tentu sadja novel ini tidak se-mata2 berkisah tentang kekedjian. Sebagai penulis handal Triyanto djuga membuktikan diri mampu menjindir, menulis pasemon jang menggelikan. Bukan hanja sentilan nakal (“Apakah Sjech Muso terbang dengan Bouraq?”), tapi djuga satu bab jang benar2 ndjarag atau mengedjek. Dalam “Amenangi Zaman Tjeleng” selain memlesetkan karja Ranggawarsita, Triyanto djuga dengan djitu mengedjek keserakahan dan irasionalitas zaman sekarang. Kisahnja begitu kotjak membuat pembatja ter-pingkal2, melupakan nalar jang djelas tidak hadir pada bab ini tapi sebenarnja tidak penting djuga.

Karja musik Barat menempatkan hal2 djenaka ini pada bagian Scherzo. Novel perdana Triyanto Triwikromo memang lajak untuk digubah mendjadi sebuah karja musik, entah opera, entah karja musik lain. Selain Rahayu Supanggah tadi, mari kita adjukan gagasan ini kepada komponis2 seperti Tonny Prabowo, Franki Raden, atau Ananda Sukarlan. Tertarikkah mereka?

2 pemikiran pada ““‘Mendengar’ Surga Sungsang” oleh Joss Wibisono

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.